NYANYIAN SUMBANG SUSNO DAN DILEMA POLRI

Oleh Irwan P. Ratu Bangsawan

NYANYIAN sumbang Komjen Pol Susno Duadji sungguh sangat nyaring sehingga membuat sakit telinga para petinggi Polri. Nyanyian Susno tentang makelar kasus (markus) yang beroperasi di Mabes Polri telah bergema ke mana-mana dan menyeret banyak nama, seperti Gayus HP Tambunan, Andi Kosasih, Haposan Hutagalung, dan Sjahril Djohan. Bahkan, di internal Polri sendiri nyanyian tersebut memakan korban Brigjen Pol Edmond Ilyas dan sejumlah perwira pertama dan perwira menengah. Akibatnya, Susno dimusuhi para koleganya sendiri yang menuduhnya telah menistakan institusi Polri.
Tuduhan bahwa Susno telah menistakan institusi Polri bukanlah tuduhan main-main. Tuduhan ini merupakan tuduhan serius yang dapat membawa konsekuensi yang dapat mengakhiri karier panjang Susno di kepolisian. Seolah tidak takut mati, Susno malah bermanuver ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi III DPR.
Saat di Komisi III DPR, Susno menyebut bahwa Sjahril Djohan diduga kuat ikut terlibat dalam proses Makelar kasus di tubuh Mabes Polri, yang melibatkan mantan pegawai Ditjen Pajak, Gayus HP Tambunan. Sjahril Djohan yang merupakan mantan pegawai Kementerian Luar Negeri ini mempunyai hubungan dekat dengan mantan pejabat tinggi Polri, yang berinisial MP. Nama MP ini patut diduga adalah mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Makbul Padmanegara.

Dilema Polri
Harus kita akui, bahwa keberanian mantan Kabareskrim ini untuk mengungkap kasus markus di tubuh Polri ini harus kita beri apresiasi, walaupun kita tidak tahu persis, apa motivasi dari Susno untuk membongkar kasus markus ini. Susno sendiri telah menuai hasil dari keberaniannya tersebut, yaitu secara mendadak ia ditangkap di Bandara Soekarno Hatta saat akan berpergian ke Singapura untuk berobat. Peristiwa ini tentu saja mengundang kritik pedas dari masyarakat. Walaupun Polri berdalih bahwa Susno telah melanggar kode etik profesi dan disiplin anggota Polri yaitu bepergian ke luar negeri tanpa izin atasan, masyarakat seakan tak ambil peduli dan telah apriori terhadap semua langkah kepolisian.
Penangkapan Susno dibaca masyarakat sebagai hasil rekayasa kepolisian untuk menghambat pembongkaran kasus markus di tubuh Polri, karena memang hanya Susno yang berani membongkarnya. Jika Susno ditahan, sangat mungkin pembongkaran kasus markus ini pun akan terpendam.
Kasus penangkapan Susno oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri menghadirkan dilema antara mengungkap secara tuntas kasus markus yang diungkap Susno dengan upaya menegakkan kode etik profesi. Masyarakat sebagaimana diungkapkan Rahmad Budi Lestari, seorang anggota Polres Boyolali, sebenarnya berharap agar kasus yang menimpa Susno, tidak hanya sebatas pelanggaran kode etik yang kemungkinannya melibatkan konflik kepentingan antarsesama anggota Polri. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, diperlukan keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai kasus di tubuh Polri dengan dilandasi prinsip tata kelola yang baik (good governance). Sinyalemen yang berkembang tentang adanya semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai “kultur”, belum bisa dihilangkan sama sekali. Apalagi instruksi pimpinan yang berdasarkan garis komando. Padahal, kultur tersebut merugikan reputasi Polri sebagai institusi penegak hukum.
Paradigma Kepolisian Sipil
Sebagai langkah ke depan, reformasi lembaga kepolisian yang selama ini telah digulirkan, harus senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat dan perkembangan tugas sejalan dengan tuntutan masyarakat. Sebab, secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Profesi Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang bersih dan baik. Oleh karena itu, perubahan Polri secara kelembagaan maupun perilaku anggota Polri sangat diperlukan sejalan dengan paradigma kepolisian sipil.
Paradigma kepolisian sipil mengandung pengertian polisi yang jauh dari karakteristik militer. Pengertian ini sesuai dengan definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional. Dalam perjanjian ini kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant), sementara kedudukan militer sebagai kekuatan yang didesain untuk berperang (combatant). Fungsi kepolisian juga berbeda jauh dari fungsi militer. Secara tradisional, fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum, dan pemolisian masyarakat (community policing). Sementara itu fungsi militer berkaitan dengan perwujudan keamanan dari ancaman eksternal (external threat), dan berbagai operasi perdamaian dan operasi kemanusiaan. Kualitas polisi sipil akhirnya diukur dari kemampuannya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat dan menjauhkan diri dari karakter militer yang serba menggunakan komando.

IRWAN P. RATU BANGSAWAN
Peminat Kajian Politik dan Perilaku Aparatur Negara

Tinggalkan komentar